Walter Spies adalah pelukis, perupa, dan juga pemusik. Ia adalah tokoh di belakang modernisasi seni di Jawa dan Bali. Spies lahir sebagai anak seorang peniaga kaya Jerman yang telah lama menetap di Moskwa. Semenjak muda ia telah menggemari seni musik, seni lukis, dan seni rupa.
Pada tahun 1923 ia datang ke Jawa dan menetap pertama kali di Yogyakarta. Ia lalu pindah ke Ubud, Bali, pada tahun 1927. Di sinilah ia menemukan tempat impiannya dan menetap hingga menjelang kematiannya.
Di bawah perlindungan raja Ubud masa itu, Cokorda Gede Agung Sukawati, Spies banyak berkenalan dengan seniman lokal dan sangat terpengaruh oleh estetika seni Bali. Dalam seni tari ia juga bekerja sama dengan seniman setempat, Limbak, memoles sendratari yang sekarang sangat populer di Bali, #Kecak.
Ia memiliki jaringan perkenalan yang luas, sejumlah temannya banyak diundangnya ke Bali untuk melihat sendiri pulau kebanggaannya itu.
Perang Dunia Kedua membawanya pada nasib buruk. Sebagai orang Jerman, ia ditangkap pemerintah Hindia Belanda. Ia meninggal 19 Januari 1942 karena tenggelam bersama-sama dengan kapal 'Van Imhoff' yang ditumpanginya.
Walter Spies dengan kecintaannya terhadap kesenian tradisional Bali, dan kepekaannya terhadap karakteristik keingintahuan wisatawan, telah meletakkan dasar pijakan penting bagi kehidupan pariwisata Bali dewasa ini. Seni tradisi yang pada dasarnya merupakan elemen ritus relijius, bersifat sakral, dan ”dipertunjukkan” hanya pada tempat-tempat dan waktu tertentu, dimodifikasi sedemikian rupa dengan tanpa meninggalkan narasi aslinya, sehingga mampu dinikmati dan diapresiasi oleh khalayak, sekaligus melestarikan nafas kehidupan kepariwisataan Bali serta masyarakat pendukungnya.
Spies bersahabat dengan Johan Rudolf Bonnet, seorang pelukis asal Belanda yg juga menetap di Ubud. Mereka bekerja bersama bertahun-tahun dan sangat berpengaruh pada kehidupan seni di Bali. Mereka mendirikan persatuan seniman Bali Pita Maha. Untuk mengenang Spies, Rudolf Bonet pun membuatkan monumen di Campuhan Ubud.