Klasik
Gempa Dasyat dan Tsunami Pernah Terjadi di Buleleng Tahun 1815
Rabu, 30 Desember 2015
SejarahBali.com
Dalam diskusi ada 3 orang pembicara yang mengupas peristiwa alam ini dari 3 sudut berbeda. Pertama AAN Ngurah Sentanu, beliau memaparkan kondisi sosial yang terjadi tahun 1815 dimana bencana datang silih berganti. “Pada awal tahun, Gunung Tambora meletus. Letusannya hingga ke Bali dan karena debu vulkaniknya menutupi seluruh bumi maka ilkim menjadi berubah. Di Bali hujan terus menerus, danau meluap. Selanjutnya disusul oleh longsoran dan gempabumi di akhor tahun. Bencana datang terus menerus. Namun pada tahun 1830an Bali menjadi subur, pertanian meningkat. Tetua kami menceritakan berkarung-karung beras datang dari Tabanan dengan diangkut Kuda untuk selanjutnya diekspor ke panegara lainnya”.
Pembicara kedua, I Made Kris Adi Astra memaparkan kompleksnya tatanan geologi yang mengapit Bali dan Nusa Tenggara. Dari selatan ada penunjaman lempeng tektonik Indo-Australia di bawah lempengan Eurasia. Gesekan lempeng ini menghasilkan gempabumi. DI utara Bali terdapat Patahan belakang busur kepulauan. “ patahan belakang busur kepulauan memanjang dari Laut Bali, Utara Lombok, Flores hingga ke laut Banda. Gempabumi yang dihasilkan ada pada kedalaman dangkal, sehingga apabila dengan magnitudo besar akan merusak. Beberapa contoh gempabumi yang dihasilkan adalah gempabumi pada 22 November 1815. Tepat di usianya yang ke 200 tahun ini adalah momentum yang tepat sebagai pengeling-eling atau pengingat dan penyadaran kembali bahwa kita hidup di daerah dengan potensi bencana yang tinggi”
Pembicara ketiga, Gede Kresna dari Rumah Intaran memaparkan strategi adaptasi bencana yang diwariskan oleh leluhur orang Bali sendiri melalui bangunan tradisional. Arsitek yang juga penggiat kehidupan tradisional ini menuturkan bahwa “kita diwarisi kualitas-kualitas lokal yang luar biasa. Rumah-rumah Bali kuno memiliki sistem tangguh dengan berbahan kayu dan memiliki bale di dalamnya. Temboknya berbahan tanah polpolan, sehingga apabila terjadi gempabumi, struktur tetap berdiri, meskipun tembok akan jatuh ke samping karena gravitasi. Pada gempabumi buleleng 1976, rumah di desa kuno Sidatapa hanya mengalami sedikit kerusakan, dibandingkan di Seririt yang merenggut korban jiwa masif. Hal ini disebabkan karena beralihnya pilihan ke rumah baru berbahan beton yang belum sempurna pemahamannya kala itu. Banyak korban tertimpa beton . Hal serupa juga dibuktikan di wilaya lain di Indonesia seperti di Nias yang rumah tradisionalnya teruji gempabumi”. [bbn/rls]