Pura Luhur Mekori menyimpan berbagai sejarah dan keunikan tersendiri. Nama Pura Luhur Mekori berasal dari arti kata Mekori yang terdiri dari kata ‘Kori’ yang artinya Gapura atau Candi Kurung. Kemudian ditambah dengan awalan ‘Me’ sehingga menjadi Mekori yang artinya bergapura atau bercandi kurung.
Jika dilihat dari luar, Pura Luhur Mekori nampak seperti bergapura dengan diapit dua buah pohon bunut yang besar. “Namun menurut kepercayaan ada juga yang mengatakan jika Mekori tersebut awalnya adalah ‘Mas Kori’, dimana orang dengan kekuatan supranatural melihat jika gapura Pura Luhur Mekori terbuat dari emas,” terang Perkebel Desa Belimbing I Made Adi Suyana, Rabu (2/11).
Pura Luhur Mekori sendiri berhubungan erat dengan kisah permusuhan Naga Gombang dan Naga Rarik. Dalam pertarungan keduanya, dimenangkan oleh Sang Naga Rarik yang dengan setia selalu didampingi oleh adiknya Ayu Mas Sari. “Setelah menang melawan Naga Gombang, Naga Rarik kemudian moksa di suatu tempat yang disebut Puser Jagat, begitupun sang adik Ayu Mas Sari. Di tempat mereka moksa inilah kemudian tumbuh pohon soka berbunga oranye atau Soka Bang. Tempat moksa keduanya inilah yang kini dikenal sebagai Pura Luhur Mekori.
“Dan sampai saat ini pohon Soka Bang masih bisa kita saksikan karena keberadaannya sangat disucikan oleh krama penyungsung Pura Luhur Mekori dan berada di areal utama mandala Pura Luhur Mekori,” sambungnya.
Ditambahkannya, jika menurut cerita dari para leluhur yang sudah menjadi kepercayaan oleh warga setempat, dahulu kala sejatinya Pura Luhur Mekori disungsung oleh kelompok warga yang merupakan manusia dan kelompok raksasa yang kanibal. Namun hal tersebut berubah ketika terjadi suatu peristiwa. “Dulu yang menyungsung Pura Luhur Mekori ini kelompok manusia dan kelompok raksasa di sebuah Desa yang namanya adalah Desa Mekori,” lanjutnya
Peristiwa tersebut bermula ketika setiap piodalan di Pura Luhur Mekori kelompok manusia menggelar pertunjukan Tari Rejang Renteng yang akan mengitari areal utama Pura dengan membawa serta lelontekan, tombak dan pengawin. Namun setiap kali menari, penari Rejang Renteng yang berada pada barisan paling akhir selalu menghilang sehingga tak ada penari yang mau menari Rejang Renteng dan tentunya hal itu sangat mengusik ketentraman masyarakat.
“Namun agar tradisi turun temurun itu tidak hilang, pihak Desa kemudian memikirkan cara untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi terhadap penari Rejang Renteng yang paling akhir,” sambung Adi.
Akhirnya terpikirkanlah cara yakni dengan membekali penari Rejang Renteng paling akhir dengan benang yang diikat dipergelangan tangannya dan disiapkan gulungan benang yang cukup panjang sehingga ketika diculik benang tersebut dapat digunakan untuk mengikuti jejak penculi tersebut. “Dan akhirnya penari paling belakang menghilang setelah diikuti oleh warga ternyata benang itu menuju sebuah goa yang ditempati pasangan suami dan istri yang juga menyungsung Pura Luhur Mekori,” tambahnya.
Hal tersebut kemudian membuat masyarakat Desa Mekori murka dan ingin menghabisi raksasa tersebut. Namun raksasa pria mengatakan jika raksasa wanita lah yang menculik para penari sehingga raksasa wanita dihabisi oleh masyarakat. Namun karena emosi raksasa pria pun ikut dihabisi sehingga sebelum terbunuh raksasa pria mengutuk masyarakat Desa Mekori yang akan dihujani bola api sampai hancur karena membunuh raksasa yang tak bersalah.
“Setelah raksasa pria terbunuh maka Desa Mekori dihujani bola api hingga Desa porak-poranda dan akhirnya Desa Mekori menjadi tak berpenghuni sampai akhirnya krama Pasek Tohjiwa datang dan menempati Desa Mekori,” ujarnya.
Saat mulai menempati Desa Mekori yang tak berpenghuni, krama Pasek Tohjiwa kagum akan alam Desa Mekori yang seperti buritan samudra dan dikelilingi lembah yang sangat indah menyerupai buah Belimbing sehingga Desa Mekori dinamakan Desa Belimbing.
Desa Belimbing saat ini mulai banyak dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara karena keasrian alam yang dimiliki, sehingga Pura Luhur Mekori juga sering kali dikunjungi sebagai wisata spiritual yang memiliki sejarah unik.