Ada banyak sekali pahlawan yang telah berjasa, ratusan, mungkin juga ribuan, namun tidak semuanya kita kenal. Sayang sekali kalau jasa sang pahlawan tersebut sampai terlupakan hanya karena kita tidak mengenalnya, seperti K’tut Tantri.
K'tut Tantri (1908-1997) hanya sedikit dikenal sebagai tokoh terkemuka Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya pada paruh pertama abad ke-20. Namanya hilang di antara pahlawan-pahlawan besar Indonesia 'seperti Tjut nyak Dhien, Kartini, Dewi Sartika, dan Rasuna Said. Buku-buku teks sekolah tentang tidak menyebutkan namanya.
Hampir tidak ada siswa yang mengenal namanya kecuali mereka membacanya di tempat lain, di luar dinding sekolah. Namun, bagaimanapun, peran K’tut Tantri dalam pemberontakan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia tidak kalah penting, kalau tidak mau dikatakan paling penting.
Kampanyenya untuk kemerdekaan Indonesia di Australia memenangkan simpati banyak orang, yang kemudian berhasil menghimpun dana ribuan dolar untuk biaya perjuangan. Dia berbicara di depan mahasiswa University of Sydney, memimpin mahasiswa melakukan demo ke konsulat Belanda, menentang agresi Belanda terhadap Indonesia lebih lanjut, selain meminta pemerintah Australia untuk membahas nasib Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa.Tak lama setelah aksinya tersebut, Belanda diperintahkan oleh PBB untuk melakukan gencatan senjata di Indonesia, dan seluruh masalah yang menyangkut Indonesia diserahkan pada PBB.
K'tut Tantri, seorang wanita Amerika kelahiran Skotlandia, dan penulis buku Revolt in Paradise, adalah orang Bali keturunan asing yang paling terkenal. Nama aslinya adalah Muriel Pearson, dan K'tut Tantri adalah nama Bali-nya yang diberikan oleh seorang raja daerah Bali setelah ia diadopsi, diangkat sebagai sebagi puteri raja tersebut. Dia datang ke Bali pada 1930-an dari Hollywood, dan kisah hidupnya selama di Indonesia—pertama sebagai puteri yang diadopsi dan kemudian sebagai pejuang kemerdekaan bagi Indonesia—memiliki warna dan bau Hollywood yang kuat.
Pada tahun 1932, ia menonton sebuah film berjudul "Bali, The Last Paradise" dan terpana oleh keindahan pulau yang digambarkan di dalamnya. Dia berhenti bekerja sebagai reporter dan menjual barang-barang miliknya untuk berlayar ke Bali. Tujuannya ingin melukis di Bali, ia membawa persediaan kanvas untuk dua tahun, kuas dan minyak. Dia bermaksud tinggal bersama penduduk Bali asli. Baru setelah dia menyadari bahwa Indonesia sedang berada di bawah koloni Belanda, dia menemukan ternyata untuk tinggal bersama-sama dengan penduduk Bali ternyata tidak mudah. Dari sinilah kisahnya dimulai.
Belanda terlalu banyak menghubung-hubungkan keberadaannya di Bali dengan isu-isu rasial dan supremasi. Pertama, mereka membujuknya untuk tidak tinggal dengan penduduk asli, kemudian mereka melarangnya karena takut hal itu akan menjatuhkan supremasi orang kulit putih.
"Nona," dia berkata kepada saya, "Anda dipanggil ke kantornya atas perintah kontrolir Denpasar. Dia telah memberitahu Anda sebelumnya bahwa pemerintah kolonial Belanda merasa tidak senang dengan perbuatan Anda yang meninggalkan Denpasar untuk tinggal bersama dengan penduduk asli di pedalaman. Kami orang Belanda memerintah penduduk di sini dengan menjaga jarak dengan kami. Apa yang akan terjadi itu, menurut Anda, jika penduduk di sini menganggap mereka setara dengan orang kulit putih? Kau—wanita kulit putih—menerima sebuah keluarga penduduk asli ... " katanya terbata-bata. Sejenak dia tampak seperti kehilangan kontrol, demikian tulis K’tut Tantri dalam bukunya (Halaman 42).
Namun, bagaimanapun, Tantri tetap tinggal dengan penduduk asli di pedalaman Bali, di bawah kecurigaan ketat Belanda. Kemudian, dengan dibantu oleh teman-temannya orang Bali dan masyarakat Bali, ia membangun sebuah hotel di Pantai Kuta. Di sana dia melukis dan mengelola hotel. Meskipun diwarnai semangat persaingan picik dari orang-orang Belanda, hotelnya berjalan dengan baik. Tamu asing semakin berdatangan menginap di hotelnya. Namun, hal ini membuat orang Belanda semakin membenci dirinya, apalagi ketika mereka menemukan bahwa sebagian tamu-tamu asing mereka berpindah ke hotelnya.
Pada tahun 1942, setelah pemboman Pearl Harbor, Jepang akhirnya menginjakkan kaki di Indonesia, menimbulkan banyak kerusakan di mana-mana, hotel K’tut Tantri rata dengan tanah. K'tut Tantri lari ke Jawa, bergabung dengan para pemberontak; Dia membantu Indonesia mengajukan tuntutan untuk mendapatkan pemerintahan sendiri, jika suatu saat cengkerman Jepang atas wilayah nusantara ini melemah.
Namun, semua tidak berjalan mulus. Jepang menangkapnya. Menjadikannya sebagai seorang tawanan. Dituduh sebagai mata-mata. Memasukkannya ke penjara selama berbulan-bulan. Di dalam penjara Jepang inilah mimpi buruk itu dimulai. Tapi K’tut tantri adalah seorang wanita pejuang yang gigih. Kecil badannya, tapi nyalinya luar biasa. Dia dipukuli sampai babak belur di dalam penjara. Diberi makan seadanya, dan dipermalukan di depan umum. Mereka memaksanya berjalan ke tengah-tengah kota Kediri dalam keadaan telanjang bulat. Keadaannya jadi sangat parah namun Jepang gagal mendapatkan sepatah kata pengakuan dari mulutnya.
Dalam urusan politik, K'tut Tantri juga memainkan peranan penting. Dia adalah pemegang paspor Indonesia pertama. Dia adalah salah seorang yang ada di belakang usaha penggagalan sebuah kudeta untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Dialah pula yang menyelundupkan utusan raja Farouk dari Mesir, Abdul Monem, dari Singapura, di bawah blokade ketat Belanda, untuk menyampaikan pengakuan resmi dari pemerintah Mesir dan liga Arab terhadap negara yang berdaulat baru yang bernama Indonesia, pengakuan mana sangat dibutuhkan oleh Indonesia ketika itu untuk menaikkan posisi tawarnya di mata Internasional. Selama revolusi Indonesia, ia bekerja sebagai penyiar radio di Surabaya. Di negara-negara asing, dia dikenal sebagai Surabaya Sue. Dia meninggal dunia dalam kesendirian di Sydney pada tahun 1997.