PURA Agung Gunung Raung di Desa Taro, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar sejatinya merupakan salah satu pura penyungsungan jagat. Di pura ini bisa dirunut jejak perjalanan suci Maharsi Markandeya tatkala menyebarkan agama Hindu di Bali pada sekitar abad ke-8. Ada sejumlah keunikan yang dimiliki pura ini. Mulai dari pintu masuk sebanyak empat buah, hingga adanya pantangan membawa segala perhiasan emas.
Pura Agung Gunung Raung mewariskan jejak Maharsi Markandeya ketika mengadakan perjalanan suci menyebarkan agama Hindu ke Bali. Pura ini didirikan sang rsi berbarengan pembukaan Desa Sarwa Ada yang menjadi cikal bakal Desa Taro kini.
Dalam lontar Bhuwana Tattwa Maharsi Markandeya disebutkan Pura Agung Gunung Raung merupakan pemindahan dari Pura Gunung Raung di Jawa Timur. Pura itu juga dibangun oleh Mharsi Markandeya sendiri.
Namun, sebelum tiba di Taro dan membangun Pura Agung Gunung Raung, Maharsi Markandeya sempat juga beristirhat sejenak di Brasela yang bertetangga dengan Taro. Karena tempat ini dirasa kurang tinggi, sang rsi melanjutkan mencari tempat ke arah utara yakni Taro. Meski begitu, sebagai penanda sang rsi pernah berjejak di tempat ini dibangun Pura Mas Merenteng.
Pura Agung Gunung Agung sendiri, menurut Jro Mangku Ktut Soebandi dalam bukunya Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali merupakan pura penyungsungan jagat. Hanya memang, pengemong pura ini dari masyarakat Desa Taro khususnya Desa Adat Taro Kaja yang berjumlah sekitar 227 kepala keluarga (KK). Meski begitu, warga dari desa-desa lain seperti Desa Sukawana, Blantih, Pengotan, Selulung, Jagaraga, Bayung Gede, Ubud dan lainnya ikut nyungsung pura ini.
Yang cukup unik, pura ini memiliki pemedal atau pintu masuk sebanyak empat buah di empat penjuru mata angin yakni timur, barat, utara dan selatan. Lazimnya, pura lainnya di Bali hanya memiliki pintu masuk satu atau dua.
Namun, pemedal yang kerap digunakan umat hanyalah pemedal sisi utara dan selatan. Pemedal sisi timur tiada berani dilintasi karena ada pantangan tiada boleh mengenakan perhiasan emas. Entah karena apa, bila ada yang mengenakan perhiasan emas seperti kalung emas atau cincin emas, perhiasan itu kerap hilang. Sementara pemedal sisi barat praktis tidak pernah dimanfaatkan karena berhadapan dengan hutan seluas 40 are.
Tak cuma itu, padmasana agung berada di madyaning natah (di tengah-tengah). Biasanya padmasana itu berada di sisi kaja kangin (timur laut). Di sisi kaja kangin berdiri Pura Dalem Purwa.
Keunikan lain, di dekat pemedal Pura Agung Gunung Raung juga terdapat dua buah titi gonggang (jembatan yang labil). Masyarakat Desa Taro meyakini titi gonggang itu sebagai tempat bagi orang yang ingin bersumpah. Misalnya ada orang yang belum membayar tetapi mengaku membayar, akhirnya bersumpah kepada orang yang dibayari. Di titi gonggang itulah bisanya sumpah itu dilaksanakan. Bila orang tersebut bisa melewati titi gonggang berarti orang itu memang benar, bila jatuh berarti orang itu salah.
Pujawali di Pura Agung Gunung Raung sendiri dilaksanakan tiap Buda Kliwon Ugu. Dulu, pujawali dilaksanakan cuma sehari dan puncaknya mesti tengah malam. Namun, semenjak Pura Agung Gunung Raung banyak didatangi umat yang hendak tangkil, Ida Batara kini nyejer selama tiga hari. Ini atas petunjuk Penglingsir Puri Ubud, (alm.) Tjokorda Gde Suyasa. Tahun ini, di Pura Agung Gunung Raung dilaksanakan Karya Panca Wali Krama.
Meski begitu, pajenengan-pajenengan yang banyak terdapat di Pura Agung Gunung Raung yang juga kerap diberikan upacara patirthaan masih dilaksanakan sehari.