Asal usul
Jejak Persahabatan Purba - [Tentang Pura Puseh Panjingan di Les-Penuktukan]
Selasa, 29 April 2025
Asal usul
Mengenal Lebih Dekat 8 Desa Bali Aga, Sejarah hingga Tradisi
Senin, 28 April 2025
Mengenal Lebih Dekat 8 Desa Bali Aga, Sejarah hingga Tradisi
Desa Bali Aga merupakan desa yang hingga saat ini masih mempertahankan pola hidup yang mengacu pada aturan tradisional adat desa warisan nenek moyang mereka. Bentuk dan besar bangunan serta pekarangan, pengaturan letak bangunan, hingga letak pura yang dibuat dengan mengikuti aturan adat yang secara turun temurun masih dipertahankan.
Desa Bali Aga (pra Hindu) berbeda dari desa-desa lainnya, sehingga dikembangkan sebagai objek dan daya tarik wisata budaya. Berikut merupakan delapan Desa Bali Aga lengkap dengan lokasi dan tradisi yang dimiliki.
1. Desa Tenganan
Sejarah dan Lokasi
Desa Bali Aga pertama adalah Desa Tenganan yang berlokasi di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali. Terdapat beberapa versi asal-usul nama Tengenan.
Pertama berasal dari kata 'Tengah' atau 'Ngetengahang' yang berarti bergerak ke daerah yang lebih dalam. Sedangkan versi kedua, terdapat mitos yang mengatakan apabila masyarakat Tenganan berasal dari Desa Peneges, Gianyar, yang dulunya disebut sebagai Bedahulu.
Ciri Khas
Masyarakat Desa Tenganan memiliki rumah yang sama satu dengan lainnya, yakni campuran bata merah, batu sungai, dan tanah dengan bentuk dan ukuran yang relatif sama. Ciri khas lainnya adalah pintu masuk yang lebarnya seukuran orang dewasa.
Selain bentuk rumah, masyarakat di desa ini juga menghasilkan karya seni berupa kain Pegringsingan. Nama kain ini berasal dari kata 'Gringsing' yang berarti sakit dan 'Sing' berarti tidak, sehingga apabila digabungkan menjadi tidak sakit. Kain ini dipercaya sebagai penolak bala oleh masyarakat setempat.
Sistem perkawinan yang dianut oleh Desa Tenganan adalah sistem parental, yang artinya perempuan dan laki-laki dalam keluarga memiliki derajat yang sama dan berhak menjadi ahli waris. Sistem inilah yang menyebabkan desa ini terdiri dari penduduk asli desa setempat.
Tradisi
Daya tarik dari Desa Bali Aga satu ini adalah tradisi Mekaré-karé atau lebih dikenal dengan 'perang pandan'. Ritual ini merupakan puncak dari prosesi upacara Ngusaba Sambah yang digelar setiap bulan Juni yang berlangsung selama 30 hari.
Tradisi Mekaré-karé akan dilakukan sebanyak 2 sampai 4 kali dan akan dihaturkan sesajen kepada leluhur saat pelaksanaan berlangsung. Ritual ini diikuti oleh para lelaki mulai dari anak-anak hingga orang tua. Sarana yang digunakan dalam tradisi ini adalah daun pandan sepanjang 30 sentimeter dan tameng. Luka yang dihasilkan dari daun pandan akan dibalur dengan penawar yang terbuat dari ramuan umbi-umbian. Tradisi Mekaré-karé akan diiringi dengan gamelan Selonding.
2. Desa Sidetapa
Sejarah dan Lokasi
Desa Bali Aga ketiga adalah Desa Sidetapa yang didirikan sekitar tahun 785. Masyarakat desa ini terbagi menjadi tiga kelompok berdasarkan kasta, yakni Pasek, Patih, dan Batur.
Sebelum menjadi Desa Sidetapa, desa ini dulunya bernama Desa Gunung Sari Munggah Tapa. Lokasi Desa Sidetapa ada di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali.
Ciri Khas
Desa Sidetapa terkenal dengan kerajinan bambu yang mana hampir setiap kepala keluarga melakukan kegiatan menganyam bambu. Hasil kerajinan bambu ini akan dijual di pasar tradisional dan tidak jarang wisatawan asing berkunjung ke desa ini untuk melihat proses pembuatan kerajinan bambu.
Ciri khas dari Desa ini juga berupa bangunan sakral yang bernama Bale Gajah Tumpang Salu. Selain itu, rumah masyarakat desa Sidetapa sendiri beratap seng dan dinding tanah serta untuk bangunan asli tidak menghadap ke jalan. Hal ini dikarenakan pada masa lalu desa ini tidak ingin menerima pengaruh dari budaya Majapahit.
Tradisi
Upacara adat yang terdapat di Desa Sidatapa adalah Beriang Agung yang terdiri dari dua kata, yakni "Beriang" artinya Meberiong, Meberiug atau sinarengan, mebarengan dan "Agung" artinya besar. Tujuan tradisi ini adalah ngerebeg nyiatin satru yang berupa Buta-buti atau Butha Kala. Upacara besar ini dilaksanakan setiap tiga tahun sekali di pura desa. Sarana upacara ini adalah kijang.
Tidak hanya upacara Beriang Agung, ada juga upacara Sangyang Gandrung yang merupakan upacara pecaruan selama 42 hari dengan iringan tari Sangyang. Tarian ini dibawakan oleh dua orang wanita lajang sebagai simbol dedari.
Sementara Gandrung sebagai simbol genderuwo yang ditarikan oleh laki-laki berpakaian wanita. Upacara ini dilaksanakan setiap tiga tahun sekali dengan sarana upacaranya segehan caru yang diletakkan di pintu gerbang rumah.
3. Desa Trunyan
Sejarah dan Lokasi
Desa Bali Aga selanjutnya berlokasi di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Nama desa ini adalah Desa Trunyan yang diambil dari dua kata, yakni 'Taru' yang berarti pohon dan 'Menyan' berarti harum.
Ciri Khas
Rumah masyarakat Desa Trunyan umumnya tidak menggunakan pola Sanga Mandala atau pola natah di tengah pekarangan yang dikelilingi oleh beberapa bale. Ciri khas rumah masyarakat desa ini dijadikan satu unit massa tunggal atau tidak dipecah. Meski dijadikan satu unit, fungsi-fungsi yang seharusnya ada pada rumah tradisional Bali Aga tetap terwadahi.
Tradisi
Tradisi khas dari Desa Trunyan adalah pemakaman yang berbeda dari desa lainnya. Jenazah di desa ini hanya diletakkan di bawah Taru Menyan dengan dipagari anyaman bambu dan ditutupi dengan kain putih.
Meski diletakkan di alam terbuka, jenazah tidak menimbulkan bau busuk bahkan tidak dihinggapi lalat, ulat, dan hewan lainnya. Hal ini disebabkan oleh pohon kayu Menyan yang mengeluarkan aroma harum dan mampu menyamarkan bau busuk yang dihasilkan jenazah.
Kuburan di Desa Trunyan sendiri terbagi menjadi tiga jenis berdasarkan jenis kematian. Apabila meninggal secara wajar, telah menikah, dan anggota tubuh lengkap akan dimakamkan secara Mepasah (diletakkan di bawah Taru Menyan) di Sema Wayah.
Kemudian, jika kematian disebabkan oleh hal yang tidak wajar, seperti dibunuh, kecelakaan, atau bunuh diri akan diletakkan di Sema Bantas. Sedangkan penguburan bayi, anak kecil, maupun orang yang belum menikah akan dimakamkan di Sema Muda.
4. Desa Cempaga
Lokasi
Desa Cempaga merupakan desa yang berlokasi di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali. Desa ini memiliki dua dusun, yaitu Dusun Corot dan Dusun Desa.
Ciri Khas dan Tradisi
Daya tarik dari Desa Cempaga adalah memiliki beberapa tari sakral yang unik dan berbeda dari desa lainnya di Bali, salah satunya Tari Jangkang. Tari ini dibawakan oleh sekelompok anak-anak yang sudah mepinggah (sudah ganti gigi) dan dibawakan satu hari setelah hari raya Kuningan di Pura Desa Cempaga. Makna dari tarian ini adalah sebagai lambang prajurit perang dharma melawan adharma.
Tidak hanya tarian, Desa Cempaga juga memiliki tradisi unik yakni Nyepi Adat yang dilakukan setiap lima tahun sekali setelah dilaksanakannya Ngaben desa. Tradisi ini merupakan bentuk penyucian terhadap palemahan desa pasca Ngaben berlangsung.
Masyarakat Desa Cempaga akan melaksanakan Catur Brata Penyepian selama 24 jam dan akses keluar masuk desa akan ditutup sementara. Pelaksanaan Ngaben ini biasanya saat Sasih Kanem yang merupakan sasih saat hujan turun sehingga akan melebur dan menghilangkan segala kotoran.
5. Desa Pedawa
Sejarah dan Lokasi
Desa Bali Aga ini sebelumnya bernama Desa Gunung Tambleg karena leluhur masyarakatnya berasal dari Tamblingan dan akhirnya berubah nama menjadi Desa Pedawa. Lokasi desa ini berada di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali.
Ciri Khas
Desa Pedawa sejak dulu tidak mengenal Kahyangan Tiga, tetapi ada Dangkaian desa yang memiliki enam tempat pemujaan. Istilah odalan di desa ini adalah lelintih nemugelang serta desa ini memiliki instrumen musik Gong Selunding. Makanan khas di desa ini adalah jaje (jajan) buah bunut, sate keladi, bandut, dan sebagainya.
Tradisi
Daya tarik dari Desa Pedawa adalah tradisi menikah yang disebut dengan melaib. Jenis-jenis pernikahan di desa ini adalah melaib ngemaling (nikah lari), melaib ngidih (meminang mempelai wanita), melaib ngangken (didahului pihak perempuan karena hamil), melaib negteg (nikah dengan sidang karena pihak perempuan hamil), melaib mebase tegeh (nikah dengan upakaranya terdapat base tegeh), dan melaib ngerorod atau mepekirang (nikah yang dilarang keberadaannya).
Tidak hanya nama pernikahan yang unik, tradisi ngaben di desa ini juga unik yang mana tradisi ini disebut dengan Ngangkid karena tidak dilakukan di setra. Tradisi Ngangkid massal ini dilaksanakan di Tukad Pengangkidan di desa setempat dan dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
6. Desa Tigawasa
Sejarah dan Lokasi
Desa Bali Aga berikutnya berlokasi di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali yang bernama Desa Tigawasa. Nama desa ini terdiri dari kata Tiga dan Wasa yang artinya banjar. Jadi Desa Tigawasa memiliki tiga banjar, yaitu Banjar Sanda, Banjar Pangus, dan Banjar Kuum Munggah (Gunung Sari).
Ciri Khas dan Tradisi
Desa Tigawasa merupakan desa penghasil anyaman bambu. Tidak hanya iru, desa ini juga memiliki tradisi yang cukup unik, yaitu tidak adanya istilah pembakaran mayat. Jenazah masyarakat desa akan dikubur karena desa ini menganut kepercayaan Dewa Swambu.
Selain itu, jenazah tidak diletakkan di dalam peti melainkan hanya dibungkus dengan kain batik lalu langsung dikuburkan.
Tradisi lainnya dari desa ini adalah Meboros Kidang (berburu rusa atau kijang) yang akan digunakan untuk sarana pecaruan menyambut hari raya Sipeng Adat (Nyepi Desa). Bahasa yang digunakan oleh masyarakat desa ini yakni bahasa pedalaman Wong Aga.
7. Desa Penglipuran
Sejarah dan Lokasi
Desa Penglipuran merupakan Desa Bali Aga yang berlokasi di Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Bali. Desa ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Bangli sekitar 700 tahun lalu. Nama Penglipuran berasal dari kata 'Pengeling' yang berarti pengingat dan 'Pura' artinya tempat atau tanah leluhur. Para leluhur desa ini berasal dari Desa Bayung Gede, Kintamani.
Ciri Khas
Salah satu ciri khas desa ini adalah tata ruang desa yang menjunjung tinggi nilai leluhur dengan mengikuti konsep Tri Mandala. Konsep ini membagi desa menjadi tiga wilayah, yaitu Utama Mandala sebagai wilayah suci Dewa, Madya Mandala sebagai tempat tinggal masyarakat, dan Nista Mandala sebagai area pemakaman. Desa Penglipuran juga terkenal dengan loloh cemcem yang terbuat dari daun cemcem atau klocing.
Tradisi
Desa Penglipuran memiliki satu tradisi unik, yaitu Ngusaba. Tradisi ini diselenggarakan untuk menyambut Hari Raya Nyepi. Tujuan dari Ngusaba sendiri adalah sebagai wujud syukur atas anugerah yang dilimpahkan selama ini.
8. Desa Batuan
Sejarah dan Lokasi
Desa Batuan berlokasi di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali. Nama Batuan sendiri merujuk pada Prasasti Baturan yang ditulis pada pemerintahan Raja Bali Kuno Srie Aji Marakata berangka tahun 1022 Masehi.
Ciri khas
Desa Batuan terkenal dengan keseniannya, salah satunya lukisan. Ciri khas dari lukisan Desa Batuan hanya memiliki warna hitam putih dan area canvasnya tidak ada yang kosong atau terisi penuh oleh gambar maupun warna. Tidak hanya lukisan, masyarakat Desa Batuan juga menekuni bidang seni pahat patung, seni topeng, seni ukir kulit, pahat batu, tenun, dan kerajinan kayu.
Tradisi
Salah satu tradisi unik di Desa Batuan yakni tradisi menolak bala (bahaya) dengan tarian yang dipentaskan selama enam bulan sekali. Tarian tersebut bernama Rejang Sutri dan Rejang Bogolan. Para penari Rejang Sutri akan berdandan pada hari raya keagamaan tertentu dan penari Rejang Bogolan memakai pakaian adat ke Pura setiap hari selama enam bulan.
Tradisi ini dilakukan tepat pada Sasih Kalima kalender Bali hingga Sasih Kasanga. Penari Rejang Sutri merupakan perempuan yang tidak sedang cuntaka atau haid.
Sumber: https://www.detik.com/bali/budaya/d-6897549/mengenal-lebih-dekat-8-desa-bali-aga-sejarah-hingga-tradisi
Penulis : TImLiputan
Editor : SejarahBali
Asal usul
Selasa, 29 April 2025
Asal usul
Minggu, 27 April 2025
Cerita
Rabu, 30 April 2025
Asal usul
Selasa, 29 April 2025
Asal usul
Minggu, 27 April 2025
Histeria
Rabu, 02 April 2025
Asal usul
Senin, 14 April 2025