Pura Medue Karang di Desa Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali yang telah masuk sebagai salah satu cagar budaya nasional saban hari selalu dikunjungi wisatawan asing, walaupun tidaklah ramai.
Sejumlah wisatawan yang memasuki areal pura diwajibkan untuk menggunakan kain. Di areal pura, telah bersiap seorang petugas pusat informasi pariwisata untuk menjelaskan semua hal tentang pura ini. Petugas ini ditempatkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buleleng.
Dalam catatan sejarah, Pura Medue Karang dibangun pada 1890 dan selesai di bangun 1895. Salah satu kekhasan yang dicari oleh para wisatawan ke pura ini yakni ukiran Pura yang menggunakan kekhasan Buleleng atau ukiran khas Buleleng.
Lalu yang kedua, banyak wisatawan asing terutama wisatawan asal Belanda penasaran karena di salah satu sudut ornamen di Pura ini terdapat relief seorang tokoh Belanda sedang naik sepeda ontel.
Ya, relief seorang menir Belanda yang berada didinding ornament bagian timur terdapat relief tersebut. Menir Belanda itu bernama W.O.J. Nieuwenkamp, Dia adalah salah satu pejabat kolonial Belanda dikala itu. Dalam relief tersebut, Menir Belanda tersebut sedang membawa sebuah sepeda ontel dengan mengenakan destar Khas Bali dan dibalut dengan kamben (kain) yang biasa diguunakan masyarakat Bali ketika ke Pura untuk bersembahyang.
Menurut Petugas Pusat Infromasi Pariwisata Pura Medue Karang, Komang Sugiada, menir tersebut dulunya pernah datang ke Desa Kubutambahan sekitar tahun 1904. Dia adalah orang Belanda pertama yang datang ke Kubutambahan. Pada saat itu, W.O.J.
{bbseparator}
Nieuwenkamp katanya sangat terpesona dengan kemegahan Pura Medue Karang, sehingga dia berinisiatif untuk mengabadikan dirinya dalam relief di salah satu sudut ornamen pura. Menir Belanda ini konon dulunya sering mepunia di Pura Medue Karang dan warga setempat menghormatinya sehingga memberikan ijin supaya dia bisa diabadikan dalam relief pura.
Tiga orang warga Desa Kubutambahan yang mengukir Pura medue Karang ini yakni Kaki (Kakek) Balad, Kaki Raja dan Kaki Jeneng. “Ini menurut tutur orang tua, dulu ada tiga orang yang mengukir Pura Medue Karang.
Kepada merekalah orang Belanda ini meminta supaya dirinya bisa diabadikan dalam relief di Pura,” papar Sugiada, Senin (23/11). Selain relief Menir Belanda, dipura ini juga terukir sosok Raja Buleleng yang diperkirakan itu adalah Ki Barak Panji Sakti serta ukiran patung Ganesha.
Menurut Sugiada, beberapa kali di beberapa sudut pura pernah direnovasi namun tidak sampai menghilangkan wajah aslinya. Ukiran-ukiran di Pura Medue Karang ini adalah asli khas Buleleng. Mulai dari gapura Pura hingga dua pelinggih dan satu padmasana menggunakan ukiran khas Buleleng.
Dua pelinggih dikanan dan dikiri yang dimaksud yakni Ratu Ngurah Punggawa dan Ratu Ayu Panaban Sari. Dibandingkan dengan ukiran dari daerah selatan (bali Selatan), type ukiran Buleleng pahatannya terlihat lebih besar.
Dulunya, Pura Medue Karang ini sering digunakan oleh warga sekitar sebagai Pura Pengayatan ketika ada upacara besar digelar di Pura Besakih. “Mungkin karena dulu jauh, belum ada kendaraan maka itu pura ini digunakan sebagai pura untuk pengayatan ketika ada odalan di Pura Besakih.” ujar Sugiada.
Salah satu wisatwan asing asal Belanda, Bers Van Rijk mengungkapkan dirinya emang merasa penasaran akan satu hal akan Pura ini yakni sosok orang Belanda yang diabadikan di relief ini. Menurut Bers, Dia mengetahui dari sejumlah wisawatan Belandan yang berkunjung ke lokasi ini.
Bers mengaku terkesima dengan aset budaya Bali seperti ukiran Pura Medue Karang. Menurut Bers, dirinya seorang mahasiswa yang kebetulan menyempatkan diri untuk berwisata ke Bali sembari mempelajari sejumlah lokasi-lokasi bersejarah di Bali.
{bbseparator}
Warisan
Pura Medue Karang merupakan salah sau pura tertua di Bali. Pura ini juga mempunyai sejumlah warisan budaya lain berupa topeng namun semuanya nyaris mengalami kerusakan. Jro Mangku Istri Komang Sariani, Dia istri dari Jro Mangku Jagat, pemangku utama di Pura ini mengatakan, beberapa warisan dari pura ini yakni Tapel Rangda Lanang Istri.
Biasanya, tapel ini ditarikan ketika sedang digelar piodalan ageng (upacara adat skala besar). Cuma saja, Tapel Rangda Lanang Istri tersebut sudah lama tidak ditarikan dan hanya disimpan saja karena secara fisik mengalami kerusakan. “Sekarang masih dibuatkan duplikatnya. Niki sudah lama tidak ditarikan karena topengnya juga sudah rusak, selain itu sampai saat ini belum pernah lagi digelar piodalan ageng (upacara adat skala besar),” papar Jro mangku Istri saat ditemui di Pure Medue Karang, Senin (23/11). Saat ini, topeng-topeng tersebut masih disimpan di rumahnya.
Dulunya, dalam rentang beberapa tahun di Pura Medue Karang juga tidak mempunyai pemangku sehingga tidak pernah lagi digelar piodalan dalam skala besar. Selain warisan tapel, Pura Medue Karang juga mewariskan seperangkat Gong serta dua pasang kendang. Biasanya, saat upacara adat perangkat gong ini juga dipendak.
Nah, Jika anda wisatawan dari manapun dan ingin menikmati eksotisme Pura Medue Karang, Silahkan datang ke Desa Kubutambahan di Kabupaten Buleleng, Bali. Namun berwisata ke Pura tentunya harus menghormati segala aturan di lokasi.
Petugas di pusat informasi di areal pura sudah menyiapkan beberapa kain dan selendang bagi para wisatawan. Mereka akan menjelaskan secara detail tentang keberadaan Pura Medue Karang.