Salah satu swadharma pemimpin negara seperti raja adalah membangun sistem sosial yang dapat membangun kebersamaan yang dinamis untuk menciptakan kerukunan sosial.
Rukun itu adalah terminal sosial untuk mengantarkan kehidupan bersama dalam keadaan aman dan damai. Keadaan aman dan damai itu sebagai kondisi yang dibutuhkan agar tumbuh potensi-potensi material dan spiritual yang seimbang dan kontinu untuk membangun manusia yang seutuhnya lahir batin sebagai manusia yang hidup bahagia.
Masyarakat yang aman dan damai itu adalah masyarakat yang di dalamnya ada kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan mengembangkan diri sesuai dengan profesi dan fungsi masing-masing.
Dalam ajaran Hindu ada filosofi dasar membangun masyarakat yang rukun secara vertikal dan horizontal. Bagaikan tampak dara yaitu ada dua garis menyilang. Ada garis vertikal dari bawah ke atas dan ada garis horizontal. Garis vertikal dan horizontal ini menyilang di tengah-tengah. Itulah yang membentuk apa yang disebut dalam simbol Hindu di Bali sebagai tampak dara.
Rukun secara vertikal antargenerasi berdasarkan konsep Catur Asrama. Brahmacari hormat dan bakti pada generasi tua yang Gerhasta Asrama. Demikian juga seterusnya dengan Asrama yang selanjutnya. Demikian juga rukun secara horizontal antara profesi berdasarkan Catur Varna.
Sebagaimana dinyatakan dalam Mantra Yajurveda. XXX.5 bahwa Catur Varna itu sama-sama ciptaan Tuhan berdasarkan Guna dan Karma. Artinya berdasarkan bakat dan pekerjaannya. Catur varna itu kedudukannya paralel horizontal, tidak membeda-bedakan harkat dan martabat sesama manusia.
Keberadaan Pura Dasar Bhuana di Desa Gelgel Klungkung ini sebagai tempat pemujaan untuk menyatukan berbagai golongan yang ada di Bali saat kejayaan Kerajaan Klungkung ketika beribu kota di Gelgel yang waktu itu disebut Sweca Pura. Di Pura Dasar Bhuwana ini di samping ada sarana memuja Tuhan Yang Maha Esa juga terdapat pemujaan Dewa Pitara (roh suci leluhur) dari beberapa warga atau wangsa.
Ada pemujaan Warga Satria Dalem, Warga Pasek Maha Gotra Sanak Sapta Resi, Warga Pande dan Wangsa Dang Hyang Nirartha. Pemujaan berbagai warga nampaknya baru didirikan saat kejayaan Kerajaan Klungkung yang beribu kota di Sweca Pura.
Sebagaimana umumnya pura di Bali berkembangnya secara evolusi sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakatnya. Oleh para peneliti pura ini sudah ada sejak abad ke-10 Masehi sebagai Pasraman Pandita Mpu Graha. Kalau kita perhatikan perkembangan berbagai tempat pemujaan umat Hindu di Bali umumnya pura itu dikembangkan oleh setiap generasi. Ini artinya lewat sistem pemujaan itu umat Hindu menghormati peninggalan-peninggalan leluhurnya dengan melanjutkan apa yang diwariskan oleh generasi sebelumnya. Inilah yang dapat disebut adanya kerukunan antara generasi.
Mengembangkan warisan leluhur itu disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Meskipun demikian substansi universal dari warisan itu sebagai tempat pemujaan untuk membina hidup yang benar dan suci tetap dilanjutkan.
Dalam sistem pemujaan Hindu di samping adanya pemujaan pada Tuhan sebagai unsur yang tertinggi, ajaran Hindu mengajarkan juga pemujaan leluhur atau Dewa Pitara. Karena menurut Sarasamuscaya 250 ada empat pahala orang yang berbakti pada leluhurnya yaitu Kirti, Bala, Yasa dan Yusa.
Sementara dalam Manawa Dharmasastra II.121 dinyatakan bahwa mereka yang tekun berbakti pada leluhurnya akan memperoleh pahala: Ayu, Widya, Yasa dan Bala. Dari ajaran inilah menimbulkan adanya sistem pengelompokan warga. Pandhaninath Prabhu dalam bukunya ”Hindu Social Organisation” menyatakan ada tiga sistem pengelompokan leluhur yaitu berdasarkan Sapinda, Gotra, dan Pravara.