Tepat menghadap laut di Kusamba, sisi selatan Klungkung, terdapat sebuah pura kuno bernama Gua Lawah yang telah berusia 10 abad. Seperti namanya, Pura Gua Lawah berwujud sebuah gua alam yang dikelilingi beberapa bangunan pelinggih.
Statusnya sebagai satu dari sembilan pura penyangga mata angin atau Pura Kahyangan Padma Bhuwana menjadikan pura yang terletak di Desa Pesinggahan, Kecamatan Dawan, Klungkung, ini salah satu pura terpenting bagi masyarakat Bali. Pura Gua Lawah dalam kepercayaan Hindu Bali diposisikan sebagai Pura penyangga arah tenggara (gneya) dari daratan Bali.
Menurut beberapa catatan sejarah, antara lain Lontar Usana Bali dan Lontar Babad Pasek, Pura Goa Lawah didirikan sekitar abad 11 Masehi. Pura ini didirikan pada tahun 929 Saka atau 1007 Masehi atas prakarsa Mpu Kuturan, penasihat Raja Anak Wungsu.
Disebutkan pula bahwa pada abad ke-14 Masehi, pura ini mengalami pemugaran dan perluasan kompleks. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, lorong gua ini terhubung dengan mulut Gua Raja di Kompleks Pura Besakih yang berjarak sekitar 30 kilometer. Hanya saja, pada tahun 1917, lorong tersebut runtuh akibat gempa besar.
Salah satu hal menarik dari Gua Lawah adalah kawanan kelelawar yang memenuhi lorong gua ini. Kelelawar-kelewar ini dilindungi oleh aturan adat setempat dan terlarang untuk diburu atau ditangkap. Hal ini membuat keriuhan suara koloni hewan nokturnal ini menjadi salah satu fenomena tersendiri yang dapat disaksikan para pengunjung.
Selain itu, keberadaan relief kelelawar di salah satu gerbang/Candi Gelung yang memisahkan halaman tengah (jaba tengah) ke halaman dalam (jeroan) pura menjadi simbol bahwa hewan ini mendapat kedudukan yang khusus di pura ini.
Gua Lawah memiliki korelasi yang sangat erat dengan Pura Besakih di lereng Gunung Agung yang merupakan pura induk (mother temple) bagi seluruh umat Hindu Bali. Menurut Lontar Prekempa Gunung Agung, Pura Gua Lawah merupakan representasi kepala dari Naga Basuki, sedangkan Pura Gua Raja di Kompleks Pura Besakih merepresentasikan ekornya.
Dalam mitologi Hindu, Naga Basuki merupakan salah satu dari tiga naga jelmaan dewa yang diturunkan untuk menyelamatkan bumi. Naga Basuki menjadi simbol dari keseimbangan siklus yang terjadi di alam. Air menguap dari laut dan turun ke bumi menjadi hujan di gunung (daratan) yang pada akhirnya kembali ke laut.
Konsep keseimbangan alam yang berkaitan erat dengan eksistensi Gua Lawah menjadikannya pusat pemujaan terhadap Bhatara Tengahing Segara, representasi Tuhan dalam wujud pemelihara lautan. Di samping itu, Gua Lawah juga menjadi tempat pemujaan Dewa Maheswara yang merupakan penguasa arah mata angin tenggara dalam mitologi Hindu Bali.
Selain karena latar belakang mitologis tersebut, korelasi erat Gua Lawah dengan Pura Besakih juga terjadi karena prosesi upacara Ngaben. Menurut keterangan pengurus pura, setelah pelaksanaan ngaben, umat Hindu melakukan persembahyangan di Gua Lawah. Setelah itu, mereka melakukan sembahyang di Pura Besakih sebagai wujud syukur terlaksananya upacara tersebut.