Karena Pura Gunung Raung ini sebagai pasraman tempat mendalami ilmu kerohanian (Para Vidya) dan ilmu keduniaan (Apara Vidya) maka ada kemungkinan empat pintu kesemua arah sebagai pengejawantahan pentanyaan Mantra Rgveda I.89.1 yang menyatakan: A no bhadarah kratavo yantu visavanta. Artinya: Semoga pemikiran yang mulia datang dari semua arah.
Sepertinya demikianlah makna adanya empat pintu (P) Pura Gunung Raung sebagai Pasraman Dang Hyang Markandya. Keunikan yang lain adalah areal pura ini juga sangat berbeda dengan pura lainnya di Bali. Umumnya letak jaba sisi menuju jaba tengah terus menuju jeroan pura terletak satu arah. Namun, Pura Gunung Raung sedikit berbeda. Masuk dari jaba sisi dari arah utara menuju ke selatan.
Sebelah barat jaba sisi ini terdapat dapur dan hutan kecil. Jaba tengahnya terletak di selatan jaba sisi. Namun jeroan puranya tidak terletak di selatan jaba tengah namun terletak di barat jaba tengah. Di areal jaba sisi terdapat bangunan Titi Gonggang (29), balai kulkul (28) dan gedong tempat busana.
Di jaba tengah terdapat 10 bangunan antara lain balai pertemuan, Pelinggih Dalem Purwa Bumi (27), Pelinggih Ratu Pasek (26), Pelinggih Ratu Ngerurah (25), Balai Gong (30-32), Titi Gonggang (29), Balai Kulkul dari pohon Salagui (24), Balai Pegat (23), Palinggih Batara Sri (22) dan Pelinggih Bale Agung (23?). Sementara di jeroan pura tidak kurang dari 20 macam bangunan suci. Antara lain yang paling penting adalah Pelinggih Batara Gunung Raung (1).
Keberadaan Pura Kahyangan Jagat di Bali umumnya terus tumbuh dari generasi ke generasi. Berdasarkan prasasti yang dijumpai di Pura Gunung Raung diduga zaman pemerintahan Raja Anak Wungsu. Kemungkinan Pura Gunung Raung di Taro ini sudah ada sebelum abad ke-11 Masehi. Karena pura ini terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman maka ada dijumpai Pelinggih Penyawangan Bathara Majapahit (2). Padahal zaman Majapahit itu ratusan tahun setelah pemerintahan Raja Anak Wungsu.
Selanjutnya ada Pelinggih Mundar Mandir (10), pelinggih ini juga disebut Pelinggih Omkara. Fungsi pelinggih ini untuk mengingatkan umat agar setiap memanjatkan doa agar senantiasa mengucapkan Omkara saat awal berdoa dan saat menutup doa. Hal itu memang diajarkan dalam Manawa Dharmasastra II.74. Omkara awal untuk mengarahkan agar doa tersebut mengarah pada sasaran yang benar dan suci, sedangkan Omkara sebagai akhir pengucapan doa agar makna memuja itu tidak lepas begitu saja.
{bbseparator}
Selanjutnya Pelinggih Ratu Penyarikan (9) adalah pelinggih untuk memuja Tuhan agar kita mendapatkan tuntunan Hyang Widhi agar bisa menjalani hidup sesuai dengan tahapan hidup sebagaimana diajarkan dalam ajaran Catur Asrama. Kata ”nyarik” dalam bahasa Bali artinya tahapan.
Pelinggih Ratu Rambut Sedhana (8). Makna pemujaan Tuhan sebagai Rambut Sedhana sebagai wujud motivasi agar umat manusia mengolah isi bumi ini agar dapat menumbuhkan sarana hidup yang tak terhingga. Kata rambut bermakna sesuatu tak terhitung banyaknya. Sedhana artinya sarana hidup yang tak terhitung jumlahnya. Mengolah alam agar senantiasa menghasilkan sarana hidup yang tak terhingga tentunya tidak mudah. Namun demikian, itulah yang wajib diupayakan oleh umat manusia dalam mengolah kesuburan alam ini.
Ada penyawangan sebagai Pelinggih Masceti (3). Pura ini untuk memuja Tuhan dalam memohon agar tidak terjadi wabah penyakit seperti hama bagi tanaman dan hama, sebab hewan karena sumber alam itu yang dijadikan tumpuan hidup masyarakat.
Selanjutnya ada Balai Pengeraos (?) sebagai simbol apa pun yang akan dilakukan hendaknya didahului dengan musyawarah. Selanjutnya ada Kamulan Agung (11) sebagai pemujaan leluhur atau Dewa Pitara dari Dang Hyang Markandiya sebagai seorang pandita utama tentunya harus memberi contoh dalam memuja Tuhan dan Dewa Pitara dari leluhur beliau.
Di Pura Gunung Raung ini terdapat juga Pelinggih Penyawangan seperti ke Pura Luhur Ulu Watu (Pelinggih No. 13? Maksudnya mungkin Penyawangan Gunung Batukaru? Uluwatu kan baru ada pada Era Danghyang Nirarta?), Gunung Batur (14), Gunung Sari (15), Gunung Agung (16), Penyawangan ke Campuan Ubud (19), Padmasana (4) dan ada juga Balai Pingit (7) umumnya sebagai menempatkan Tirtha Pingit.
Pelinggih Penyawangan tersebut nampaknya didirikan setelah pengaruh Majapahit masuk ke Bali. Upacara piodalan di Pura Gunung Raung ini lakukan setiap 210 hari yaitu setiap Buda Kliwon Ugu. Setiap hari purnama diadakan upacara Mesangkepan para pengurus desa. Pemangku dan anggota desa hadir dalam upacara Mesangkepan itu.
Yang agak unik di pura ini upacara piodalan dan upacara lainnya cukup dipimpin oleh pemangku pura. Pemangku dalam memimpin upacara kecil, menengah maupun upacara besar tidak memakai genta.
Pura Kahyangan Jagat yang sudah berada sebelum pengaruh Majapahit ke Bali umumnya dalam memimpin upacara tidak menggunakan pandita dwijati dari keturunan Dang Hyang Dwijendra yang bergelar Ida Pedanda. Hal ini pun dapat dibahas kembali dalam melakukan penyempurnaan sistem kepanditaan Hindu yang benar-benar bersumber dari sastra agama Hindu yang ada. Karena agama itu sebagaimana dinyatakan dalam Sarasamuscaya 181: Agama ngaran kawarah Sang Hyang Aji. Artinya agama adalah apa yang dinyatakan dalam kitab suci.