Asal usul

Pura Lempuyang Luhur

 Kamis, 26 Februari 2015

sejarahbali.com

IKUTI SEJARAHBALI.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS



Empat Jalur

Sesungguhnya ada empat jalur/rute untuk mencapai Pura Lempuyang Luhur. Berdasarkan buku yang disusun Dinas Kebudayaan Bali (1998), bisa lewat Desa Purwayu. Dari rute ini bisa melewati Pura Penyimpenan, Penataran Agung, Telaga Mas, Pasar Agung barulah ke Lempuyang Luhur.

Dari jalur melewati Banjar Gamongan, melewati Pura Lempuyang Madya, terus naik ke Pura Telaga Sawang dan Pura Pasar Agung. Sementara dari Banjar Batu Gunung, Desa Bukit melewati Pura Angrekasari, melewati lokasi Tirta Suniamerta, Tirta Jagasatru, Tirta Manik Ambengan, Pura Penataran Silawana Hyangsari, Tirta Sudamala, Tirta Empul, Pura Windusari, Pura Pasar Agung (panyawangan) terus ke Lempuyang Luhur. Jalur terakhir melewati Banjar Jumenang, melewati Pura Penataran Kenusut, Pura Pasar Agung (penyawangan) dan naik ke Lempuyang Luhur.
Memuja Sang Hyang Iswara

Om Asato ma sadgamaya
Tamaso ma jyotir gamaya
Mrtyor ma amrtam gamaya.
(Brhad Aranyaka Upanisad 1.3,28.)

Artinya: Tuhan bimbinglah kami dari ketidakbenaran (asat) menuju jalan kebenaran (satya) yang sejati. Bimbinglah kami dari kegelapan (tamasa) menuju jalan yang terang benderang (jyotih). Bimbinglah kami dari kematian rohani (mrta) menuju kehidupan yang kekal abadi (amrtam).

 

Pura Lempuyang Luhur terletak di bagian timur Pulau Bali. Tepatnya di Desa Purahayu Kecamatan Abang, Karangasem. Di Bukit Gamongan atau Bukit Bisbis atau Gunung Kembar berdiri hening Pura Lempuyang Luhur. Menurut buku Upadesa, pura ini salah satu dari Pura Sad Kahyangan di Bali, tempat memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Iswara.

Memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Iswara sebagai pelindung arah timur -- arah terbitnya matahari. Dewa sinar matahari itu disebut juga Dewi Savita atau Dewi Savitri. Pemujaan pada Sang Hyang Iswara untuk mengarahkan diri agar mendapatkan sinar pencerahan hidup (jyotir).

Sebagaimana dinyatakan dalam kutipan Brhad Aranyaka Upanisad 1.3,28 di atas bahwa dengan sinar suci yang disebut jyotir itu kita akan melepaskan jiwa dari kegelapan yang disebut tamasa. Dari kehidupan yang jyotir atau jiwa yang cerah itulah kita bebas dari kematian rohani menuju kehidupan yang sejati yang disebut amrtam.

Pura Lempuyang Luhur dan Pura Sad Kahyangan lainnya didirikan pada abad ke-11 Masehi saat Mpu Kuturan mendampingi Raja Udayana memerintah Bali bersama permaisurinya. Pura Sad Kahyangan didirikan untuk melindungi Bali agar masyarakatnya tetap melakukan hal-hal yang dibenarkan menurut ajaran agama.

Dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul dinyatakan Sang Hyang Parameswara membawa gunung-gunung yang ada di Bali dari Jambhudwipa (India), dari Gunung Mahameru. Potongan Gunung Mahameru itu dibawa ke Bali dan dipecah menjadi tiga bagian besar dan juga bagian-bagian kecil. Bagian tengahnya dijadikan Gunung Batur dan Gunung Rinjani, sedangkan puncaknya menjadi Gunung Agung. Pecahannya yang lebih kecil menjadi leretan gunung-gunung di Bali yang berhubungan satu sama lainnya. Gunung-gunung tersebut antara lain Gunung Tapsahi, Pengelengan, Siladnyana, Beratan, Batukaru, Nagaloka, Pulaki, Puncak Sangkur, Bukit Rangda, Trate Bang, Padang Dawa, Andhakasa, Uluwatu, Sraya dan Gunung Lempuhyang. Dalam bahasa Jawa Kuno Lempuhyang artinya ''gamongan''. Dibawanya leretan gunung-gunung yang mengelilingi Pulau Bali ini oleh Sang Hyang Parameswara sebagai stana para dewa manifestasi Tuhan untuk menjaga Bali.

Dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul itu juga dinyatakan bahwa Sang Parameswara menugaskan putranya Sang Hyang Agnijayasakti turun ke Bali dan menjaga kesejahteraan Bali dan berstana di Gunung Lempuhyang atau Gunung Gamorangan bersama dengan dewa-dewa lainnya.

Dalam prasasti Sading C tahun 1072 Saka dinyatakan bahwa Gunung Lempuhyang juga bernama Gunung Adri Karang. Di Gunung Adri Karang inilah Raja Jayasakti bersemadi, karena itulah gunung itu juga bernama Karangsemadi. Raja Jayasakti diperintahkan oleh ayah beliau Sang Hyang Guru untuk turun ke Bali membangun pura agar menjadi daerah yang aman dan sejahtera. Raja Jayasakti mengajak para pandita dan para pembantunya serta rakyat untuk mewujudkan perintah Sang Hyang Guru membangun Bali dengan diawali pembangunan pura di Gunung Lempuhyang sebagai stana pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Iswara. Sebelumnya Raja Jayasakti melakukan semadi sebagai langkah awal membangun kehidupan yang aman sejahtra di Bali.

Dalam Wrehaspati Tattwa dinyatakan bahwa citta atau alam pikiran itu memiliki empat kekuatan yaitu dharma, jnyana, variragia dan aiswaria. Jadi, aiswaria itu adalah salah satu kekuatan untuk terus mendorong hati nurani umat manusia agar terus meningkatkan pencerahan diri sebagai sinar suci menuntun hidup menuju yang semakin suci untuk mewujudkan kebenaran dan keharmonisan. Karena itulah Iswara sering juga diartikan pemimpin. Idealnya pikiran yang cerah itulah ibarat sinar yang menerangi hidup manusia sehingga bisa hidup mengatasi kegelapan hati. Karena itu di Pura Besakih ada Pura Gelap untuk memuja Sang Hyang Iswara di arah timur Pura Penataran Agung Besakih. Kata ''gelap'' atau ''kilap'' dalam bahasa Jawa Kuno artinya sinar. Bukan berarti gelap seperti dalam bahasa Indonesia. Karena itulah dari Pura Lempuyang inilah Raja Jayasakti mendapatkan sinar terang kerohanian untuk memimpin di Bali bersama dengan para pembantu dan rakyatnya dengan waranugeraha Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Iswara, pemelihara dan pelindung arah timur alam semesta.

Dari Pura Lempuyang inilah dipancarkan sinar kepemimpinan religius untuk menerangi jiwa raga rakyat Bali mewujudkan cita-cita hidupnya membangun Bali yang aman sejahtera.

Penulis : TImLiputan

Editor : SejarahBali


Halaman :


Sejarah Sejarahbali Wisata


Tonton Juga :



Asal usul Lainnya :










Sejarah Terpopuler





TRENDING TERHANGAT