Asal usul
Pura Puncak Panulisan
Senin, 26 Januari 2015
sejarahbali.com
Dulu, bila upacara hanya bersaranakan kijang, penanggung jawab cukup dari warga Sukawana. Desa lain hanya mabakti. Bila upacara besar sepuluh tahun sekali barulah warga gebug domas turun semua.
Sejak tahun 1950-an ada pergeseran. Mungkin karena rasa bakti warga yang semakin tebal ditambah keinginan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan piodalan bertambah tinggi, maka tiap kali ada piodalan di Pura Pucak krama gebung domas ikut terlibat langsung. Mereka mengeluarkan urunan dana dan rerampe-reramon disesuaikan dengan kekayaan di desa masing-masing. Desa Selulung, misalkan, banyak punya bambu, maka masyarakatnya menghaturkan bambu.
Dulu, sebut Jero Kubayan Kiwa, piodalan yang digelar tiap tahun hanya menghaturkan seekor kijang. Sejak tahun 1950-an selain kijang juga dikurbankan seekor kerbau. “Itu boleh saja asalkan dengan keyakinan penuh dan sesuai kemampuan. Jangan sampai upacara dengan kurban besar justru keyakinan pada kebesaran Hyang Widhi melorot. Percuma jadinya,” Jero Kubayan mengingatkan.
Saat upacara ngebo papat juga dilaksanakan upacara pakelem bebek putih dan ayam putih di Pura Pucak Panulisan. Bebek dilengkapi kalung uang kepeng 22 keping, sedangkan ayam 11 keping. Leher bebek juga dikalungi surat yang menyatakan Desa Sukawana melaksanakan wali Ida Batara nyatur muka. Pakelem dilaksanakan di depan palinggih, pada tempat khusus berupa lesung.
“Ada kalanya lubang lesung kelihatan, ada kalanya tidak. Meskipun kecil, tapi bisa menampung semua sarana upacara yang akan dijadikan pakelem. Ini sulit dicerna akal sehat, memang,” tutur Kubayan Kiwa. I Wayan Sucipta
Lingga Purba, Siwa, Ganesa
Pura Pucak Panulisan tak hanya berfungsi sebagai tempat memuja keagungan Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa Natha. Dari lokasi berketinggian 1.745 m dari permukaan laut ini orang bisa mengetahui jejak sejarah Bali tempo dulu.
Di tempat ini tersimpan ratusan peninggalan purbakala, artefak arkeologis.yang mampu memberikan gambaran apa dan bagaimana Bali dalam beberapa periode. Mulai dari zaman prasejarah hingga era pengaruh Hindu. Ini peninggalan para moyang yang memikat minat para peneliti, sejarawan, arkeolog dalam dan luar negeri. Mereka mencoba mengungkap berbagai ‘misteri’ di balik arti benda-benda bersejarah tersebut.
Beberapa peninggalan yang hingga kini tersimpan rapi di Puncak Panulisan, di antaranya batu peninggalan masa megalitik, satu batu berhiaskan bulan dan matahari, sebuah perwujudan Batara Brahma, tiga arca berpasangan, dua lingga perwujudan berpasangan, satu arca Ganesa, beberapa miniatur candi sebagai simbolis gunung tempat berstana para dewa atau roh suci.
Tersimpan pula ratusan lingga tak berpasangan dengan bentuk berbeda-beda. Ada utuh, tak jarang tinggal beberapa bagian tubuh saja. Secara keseluruhan lingga-lingga itu merupakan simbol Siwa. Tinggalan kuno ini saban malam dijaga warga dari Sukawana yang makemit bergilir di pura.
Berbagai kesimpulan mencuat dari para ilmuwan dalam maupun luar negeri perihal tinggalan purbakala di Pucak Panulisan. Dr WF Sturterheim dalam buku Oudheden Van Bali I-II tahun 1929-1930 menyebutkan, peninggalan purbakala yang tersimpan di Pucak Panulisan berasal dari era jayanya kerajaan Bali Kuno. Ini dihubungkan dengan ditemukan beberapa prasasti yang berhubungan dengan kehidupan Bali masa itu. Sebut, misalkan, prasasti berangka tahun 999 saka (1077 M) dan tahun 1352 Saka (1436 M).
Kebenaran tersebut diperkuat lagi dengan ditemukannya arca laki perempuan yang di belakangnya terdapat prasasti sebagai pratista Raja Udayana Warmadewa dengan Gunapriyadarmapatni. Raja ini menduduki tahta kerajaan di Bali sekitar tahun 911-933 Saka. Sedangkan arca wanita dengan sikap berdiri di belakangnya menyebut nama Batari Mandul, diperkirakan sebagai pratista permaisuri Raja Anak Wungsu yang tak berputra.
Tim Peneliti Fakultas Sastra Unud tahun 1922 menemukan, arca berpasangan (laki-perempuan) bermahkota karanda makuta dan memakai anting-anting berbentuk pilinan rambut, bertinggi 92 cm. Di bagian bawah ada prasasti bertuliskan angka tahun 933 Saka (1026 M), yang dipahat Mpu Bga pada hari pasar wijaya manggala. Berdasarkan angka tahun yang tertuang pada prasasti serta dikaitkan dengan persamaan unsur badaniahnya, maka peninggalan ini termasuk dalam periode Bali Kuno (abad ke-11).
Kemudian ada arca wanita berdiri dengan tinggi 154 cm yang terbuat dari batu padas. Pada bagian belakang sandaran ada terpahat prasasti menggunakan huruf Kadiri Kuadarat. Prasasti tersebut menyebut Batarai Mandul dan angka tahun 999 Saka (1077 M). Langgam serta angka tahun prasasti ini masuk periode Bali Kuno (abad ke-11).
Ada pula arca laki-laki berdiri dengan sikap tangan kanan dijulurkan ke bawah sejajar badan dan tangan kiri ditekuk ke depan. Arca ini oleh peneliti Unud diperkirakan terbuat pada masa Bali Madya (abad ke-13).
Selain arca Batari Mandul, di sini juga terdapat arca perwujudan Dewa Brahma, dengan atribut empat muka, atau caturmuka. Dewa yang kerap dihubungkan dengan caturmuka memang Dewa Brahma. Arca ini juga membawa kuncup bunga yang merupakan benda pelepasan. Ciri badaniah serta karakter agak kekaku-kakuan ini diperkirkan terbuat era Bali Madya (abad ke-13).
Di Pucak Panulisan juga tersimpan arca Dewa Ganesa dengan ciri berkepala gajah, berbadan manusia dengan perut buncit, bertangan empat, dan memiliki satu taring. Di belakang kepala Ganesa terpahat hiasan dedaunan. Dari ciri badaniah yang dimiliki, diperkirakan arca Ganesa ini tergolong ke dalam periode Bali Madya (abad ke-13).
I Gusti Ngurah Agung Wiratemaja, dalam karya tulis Pura Tegeh Koripan, Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Bangli (Kajian Kosepsi) menyebutkan, ada satu ciri kental yang menunjukkan tokoh yang digambarkan ini merupakan keluarga Dewa Siwa. Terbukti dengan adanya mata ketiga di antara kening, selain adanya beberapa lingga tunggal maupun lingga berpasangan sebagai simbol Dewa Siwa yang tersimpan di Pura Puncak Panulisan.
Sumber : http://www.babadbali.com/pura/plan/panulisan.htm