Kultur
Pura Ulun Subak Bukit Jati
Rabu, 13 Agustus 2014
Sejarahbali.com
Berdasarkan purana, sejarah pura tersebut sampai kini masih belum jelas. Meski begitu, jumlah panyungsung pura ini yang masih aktif sekitar 776 orang. Krama yang masih aktif itu berasal dari empat kelurahan meliputi Bebalang, Desa Tamanbali, Bunutin dan Demulih. Sementara krama tidak aktif berasal dari seluruh subak kering atau abian se-Bangli.
Penanggung jawab Pura Bukit Jati Bangli I Wayan Sukania menjelaskan, pada tahun 1994 kondisi pura belum terawat seperti sekarang. Ketidakterawatan sangat tergantung kemampuan krama panyungsung. Selama ini seluruh biaya tidak saja prosesi yadnya, pembangunanya masih mengandalkan pola partisipasi warga subak yang masih eling.
Dikatakannya, dalam tahun yang sama tepatnya sasih keenem semestinya warga subak sudah melakukan ritual nangluk merana. Ternyata upacara dan prosesi itu telat dilakukan karena keterbatasan dana yang dimiliki krama subak, sehingga hama penyakit menimpa seluruh areal subak di Kabupaten Bangli. Tidak saja walang sangit, juga hama tikus menyerang tanaman petani.
Dalam tahun itu juga dilakukan renovasi pura secara besar- besaran di Pura Bukit Jati. Termasuk pembuatan gelung agung. Dalam satu tahunnya dilakukan empat kali upacara. Bertepatan hari raya Kuningan merupakan pujawali alit, setiap sasih keenam dilangsungkan upacara nangluk merana. Pembiayaan upacara dibebankan kepada 776 warga subak yang aktif secara urunan. Sedangkan warga subak tidak aktif di seluruh Bangli biasanya ngaturang punia secara sukarela. Pelaksanaan yadnya dibagi secara bergiliran oleh empat subak gede selaku pengempon pura secara bergiliran.
Belakangan ini tanah banyak yang beralih fungsi, sehingga menyebabkan jumlah krama subak pengempon pura terus menyusut setiap tahunnya. Persoalan ini sudah sering diperbincangkan, tetapi sampai kini masih belum terpecahkan. Diharapkan, persoalan ini agar menjadi perhatian seluruh pihak di Bangli. Komitmen menjaga kelestarian pura ini sangat penting mengingat peran serta fungsi pura sebagai simbol penjaga kesuburan. Dari tanah yang subur ini diharapkan para petani bisa memetik hasil kebun, sehingga kesejateraan petani menjadi meningkat.
Bermula dari sawah pribadi ada yang namanya Pelinggih Batari Sri (pangalapan), satu tingkat di atasnya masih dalam satu tempek subak yakni nyungsung Pura Dugul. Kumpulan sejumlah tempekan dalam satu subak nyungsung Masceti. Kumpulan Masceti di Bangli akhirnya nyungsung Pura Bukit Jati. Sehingga sebagai pangemong Pura Bukit Jati adalah seluruh warga subak di Bangli.
Ritual yang selama ini rutin dilakukan warga subak yakni upacara nangluk merana. Meminta kesuburan kepada Ida Batari semoga hasil pertanian warga melimpah dan terhindar dari penyakit. Di samping upacara nangkluk merana, juga dilaksanakan karya pujawali yang dilangsungkan secara rutin setiap enam bulan sekali. Selain berhubungan erat dengan Pura Kehen, Pura Bukit Jati sangat erat hubungannya dengan Pura Ulun Danu Batur, Desa Batur dan Pura Hulun Danu Desa Songan.
Dikatakannya, berkaitan dalam ritual mendak tirta pura tersebut memiliki hubungan historis. Di mana sumber mata air bagi kesejahteraan petani di Bangli bersumber dari Danau Batur. Tak pelak lagi, setiap dilangsungkan upacara di Danau Batur itu krama subak pengempon Pura Bukit Jati ngaturang atos.