Sejarah perkembangan kawasan Pelabuhan Buleleng dibedakan kedalam tiga tahap, yakni: jaman kerajaan, jaman kolonial, dan jaman kemerdekaan.
Pada jaman kerajaan kawasan Pelabuhan Buleleng merupakan kawasan yang berada dalam kekuasaan Kerajaan Buleleng. Dalam konsep tata ruang tradisional Bali, kawasan pelabuhan yang berada di daerah pantai utara Buleleng dianggap sebagai kawasan nista (kotor).
Kawasan ini baru mulai ada permukiman pada abad ke 17 ketika pelaut bugis dari Makasar datang ke kawasan ini. Hubungan yang baik dengan kerajaan buleleng dan penduduk pribumi membuat orang-orang bugis tersebut diberikan lahan bermukim di daerah pantai utara Buleleng yang sekarang menjadi Pelabuhan Buleleng. Selain menjadi nelayan, keberadaan masyarakat Bugis di kawasan ini dimanfaatkan oleh Raja Buleleng sebagai armada laut karena keahlian mereka di laut.
Pada tahun 1846 pemerintah Hindia Belanda menguasai daerah Bali dan menjadikan Kota Singaraja sebagai pusat pemerintahan di Pulau Bali. Sebagai kota pusat pemerintahan maka dibangunlah berbagai fasilitas kota termasuk diantaranya adalah Pelabuhan Buleleng.
Selain membuat pelabuhan utama pemerintah Hindia Belanda juga membuat jalan utama baru menuju pelabuhan. Keberadaan dari jalan ini telah mempengaruhi tata ruang tradisional Buleleng yaitu dengan mengubah aksis kota yang berpusat pada catus patha (pempatan agung) menjadi ke kantor pemerintah Hindia Belanda.
Keberadaan dari aksis kota yag baru ini memudahkan pemerintah Hinda Belanda dari Kantor pemerintahannya untuk dapat memantau (meneropong) aktifitas di pelabuhan.
Pelabuhan Buleleng pada masa Pemerintahan Hindia Belanda merupakan pintu gerbang utama Pulau Bali. Berbagai fasilitas pelabuhan seperti: dermaga, gudang, terminal, kantor pabean dan jembatan yang menyeberangi Sungai Buleleng dibangun di kawasan ini.
Pesatnya pertumbuhan kawasan pelabuhan membuat perkampungan nelayan bugis bergeser dari kawasan ini, kawasan pelabuhan diutamakan sebagai kawasan pegudangan untuk distribusi barang. Aktifitas yang ramai pada Pelabuhan Buleleng memberi pengaruh pada kawasan disekitar pelabuhan yang mulai menjadi kawasan perdagangan.
Deretan pertokoan mulai bermunculan di kawasan ini, sebagai sarana jual-beli barang distribusi pelabuhan. Pertokoan ini sebagian besar dimiliki oleh kaum dari etnis Cina, yang memang terkenal sebagai bangsa pedagang.
Semua distribusi barang dari dan keluar Bali melalui pelabuhan ini. Sebagian besar hasil ternak dan hasil bumi dari Bali diekspor ke Malaka dan Hongkong melalui pelabuhan ini. Banyak kapal-kapal besar berlabuh di dekat pelabuhan sebagai penghubung kota-kota pelabuhan di nusantara seperti Semarang dan Makasar, serta kota-kota di Sunda Kecil seperti Ampenan dan Kupang. Kondisi kedalaman laut di daerah ini tidak terlalu dalam sehingga walaupun telah dibuatkan dermaga kapal-kapal besar tidak dapat merapat langsung ke daratan. Kegiatan bongkar muat kapal besar dilakukan dengan bersandar di tengah laut kemudian dengan mengunakan kapal yang lebih kecil untuk mencapai dermaga.
Berdasarkan catatan sejarah perjalanan wisatawan yang pertama kali menuju Bali pada tahun 1920 masuk melalui pintu utama yakni Pelabuhan Buleleng ini. Dari sinilah para wisatawan mulai melakukan perjalanan di kawasan Bali, jika.
Ketertarikan wisatawan akan budaya dan keindahan alam Pulau Bali membuat aktifitas pelabuhan tidak hanya di dominasi oleh perdangan semata. Pelabuhan Buleleng sebagai pelabuhan pertama di Bali layak ditempatkan sebagai monumen pariwisata yang paling penting, pengingat pelabuhan ini selalu muncul daam setiap catatan sejarah pariwisata Bali (Suardana, 2005).
Daya tarik dari kawasan ini sesungguhnya telah ada sejak tahun 1811, jauh sebelum Hindia Belanda menguasai daerah ini. Pada saat itu Sir Stamford Raffles seorang berkebangsaan Inggris telah jatuh cinta terhadap Bali, baik alam dan budaya dari pulau kecil nan eksotik ini.
Setelah beliau datang, maka timbul gagasan untuk membangun kota pelabuhan dengan Raja Buleleng I Gusti Gde Karang dengan nama Singapura. Adanya pertentangan paham antara Raja dan Raffles membuat rencana ini urung terlaksana. Akhirnya Raffles menuju ke daerah lain dan mewujudkan rencana kota pelabuhannya di daerah tersebut sekarang bernama Singapura.
{bbseparator}
Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan kawasan ini menjadi kawasan perang antara pasukan Belanda dan tentara nasional. Pentingnya pelabuhan ini bagi pihak Belanda membuat kawasan ini dipertahankan oleh pihak belanda. Pertempuran besar pun terjadi pada tanggal 27 agustus 1945, untuk mengenang peristiwa tersebut maka dibuatlah monumen perjuangan dan tugu prasasti di kawasan ini.
Pada masa kemerdekaan Kota Singaraja sempat menjadi Ibukota Kepulauan Sunda Kecil dan Ibukota Provinsi Bali sampai tahun 1958. Pada masa ini pelabuhan ini menjadi pusat distribusi barang dari Bali ke NTT dan NTB, danbegitu sebaliknya. Kemudian Ibukota Provinsi Bali dipindahkan ke Denpasar dan diikuti dengan berpindahnya pelabuhan utama ke daerah Benoa di Denpasar.
Perpindahan Ibukota dan pelabuhan utama Provinsi Bali ini merupakan awal dari menurunnya fungsi dari Pelabuhan Buleleng. Kegiatan bongkar muat pelabuhan tidak lagi berlangsung di kawasan ini, dan membuat kawasan Pelabuhan Buleleng ini menjadi tidak berfungsi sehingga saat ini diberinama Eks Pelabuhan Buleleng, sebuah pelabuhan Kolonial yang kini tidak berfungsi.
Keterpurukan dari kawasan ini pada puncaknya terjadi pada tahun 1970-an, selain kawasan ini sudah tidak berfungsi adanya abrasi dan kurang pedulinya masyarakat akan kebersihan membuat kawasan ini dijuluki sebagai Pelabuhan Sampah (wawancara dengan Kadis kebudayaan dan pariwisata Kab. Buleleng, 2010).
Pelabuhan ini berada di sebelah sebelah muara Sungai Buleleng, dimana masyarakat pada saat itu sering membuang sampah ke aliran sungai yang pada akhirnya akan mengendah di daerah pelabuhan. Bangunan peninggalan kolonial di kawasan ini diabaikan sehingga rapuh dan rusak dimakan usia, yang menyebabkan menurunnya citra kawasan ini.
{bbseparator}
Pada tahun 1980-an Bupati Buleleng mencanangkan program revitalisasi kawasan pelabuhan ini. Sejak saat itu pelabuhan ini mulai mendapat perhatian serius. Kawasan direncanakan sebagai kawasan pariwisata Kabupaten Buleleng. Program ini cukup lama terlaksana, dan pada akhirnya tahun 2002 baru terlaksana beberapa program yaitu perbaikan tepian pantai agar lebih kuat terhadap abrasi dan pembuatan restoran apung yang memanfaatkan dermaga pelabuhan.
Pengembangan terbaru kawasan ini dilaksanakan pada tahun 2010. Namun sangat disayangkan pengembangan ini berujung pada pembongkaran bangunan pergudangan yang merupakan bangunan tua bersejarah di kawasan ini. Hanya satu bangunan tua kolonial di kawasan ini yaitu bekas kantor pabean belanda.
Sejak dicanangkan sebagai objek pariwisata yang selain menawarkan keindahan laut juga nilai sejarah, kawasan ini telah banyak mengalami perubahan. Tuntutan fasilitas baru pada kawasan ini berujung pada penghancuran bangunan tua. Pengembangan pariwisata di kawasan ini justru menghilangkan objek fisik berupa pergudangan yang mencerminkan sejarah pelabuhan kolonial di kawasan ini. Melihat perkembangan yang terjadi ini diperlukan adanya kegiatan konservasi yang terintegrasi, sehingga artefak-artefak bersejarah dapat terus dipertahankan dan menjadi bagian dari karakter Pelabuhan Buleleng sebagai satu-satunya Pelabuhan Kolonial di Bali. Semenjak berhentinya aktifitas pelabuhan kegiatan ekonomi masyarakat menjadi menurun sehingga diperlukan tindakan konservasi yang mampu meningkatkan kehidupan masyarakat lokal di kawasan.
Sumber foto : media-kitlv