Sejarah Pura Pulaki memang tak bisa dijelaskan secara tepat. Namun, dari berbagai potongan data yang tertinggal, sejarah pura itu setidaknya bisa dirunut dari zaman prasejarah. Hal ini merunut pada konsep pemujaan Dewa Gunung, yang merupakan satu ciri masyarakat prasejarah.
Sebagai sarana tempat pemujaan biasanya dibuat tempat pemujaan berundak-undak. Semakin tinggi undakannya, maka nilai kesuciannya semakin tinggi. Seperti Pura-pura di deretan pegunungan dari barat ke timur di Pulau Bali ini.
Di kawasan Pura Pulaki, di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa alat perkakas yang dibuat dari batu, antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat lain. Berdasar hal itu, dan dilihat dari tata letak dan struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.
Di samping itu, dilihat dari letak Pura Pulaki yang terletak di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi oleh perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang sangat diperlukan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku.
Bahkan, kemungkinannya pada waktu itu sudah ada berlaku perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan hingga kini masih ditemukan tanaman lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.
Dari uraian itu, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut hingga peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki dan Wangaya.
Menurut Simba, Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan agama Hindu sekte Waisnawa sekitar 1380 Masehi seperti tertera dalam buku ”Bhuwana Tatwa Maharesi Markandeya” susunan Ketut Ginarsa. Data lain yang menyebut tentang Pulaki terdapat juga dalam buku ”Dwijendra Tatwa” karangan Gusti Bagus Sugriwa. Di situ ada tertulis, “Baiklah adikku, diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus. Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki yang berasal dari kata Mpu Alaki, artinya Empu yang sudah bersuami.
Data lain tentang Pulaki adalah ditemukannya potongan candi yang bentuknya seperti candi yang ada di Kerajaan Kediri. Ditemukan di Pura Belatungan tahun 1987. Dari data itu, maka kesimpulannya keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirarta dengan peristiwa dipralinakannya Pura Pulaki sekitar 1489 Masehi. Keberadaan Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama. Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak 1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. Namun sebelum itu, dari kurun waktu zaman prasejarah sampai dengan kehadiran Ida Batara Dang Hyang Nirarta tahun 1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga dengan Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya dan orang pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai yang berwarna merah, hitam dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki.
Keberadaan kompleks Pura Pulaki yang sekarang, dalam beberapa lontar, seperti Lontar Babad Bali Radjiya, Babad Bhatara Sakti Bahu Rawuh dan Sejarah Pura Gede Pulaki, semuanya menceritakan keberadaan Pura Pulaki tersebut berhubungan dengan kedatangan Mpu Dang Hyang Nirartha dari Majapahit ke Bali dalam mengajarkan faham Hindu Ciwa Budha. Dalam sejarah Pura Gede Pulaki dinyatakan bahwa Danghyang Nirartha ke Bali untuk melantik Dalem Watu Renggong yang memerintah di Bali tahun 1460-1550 M. Ini dapat diketahui pula dari fungsi Pura Pulaki, di samping sebagai tempat memuja Tuhan Yang Maha Esa, juga menjadi stana dari Dang Hyang Nirartha dan keluarganya. Di Pura Gede Pulaki distanakan Istri Dang Hyang Nirartha, yaitu: Danghyang Biyang Sri Patni Keniten yang bergelar Ida Dalem Ketut Pulaki. Di Pura Dalem Melanting distanakan putri Beliau, yaitu: Ida Ayu Swabhawa yang bergelar Dewi atau Dyah Ayu Melanting. Sedang di Pura Kerta Kawat di stanakan putra Beliau, yaitu: Ida Bagus Bajra yang bergelar Ida Bhatara I Dewa Mentang Yudha atau Ida Bhatara Hakim Agung atau Ida Bhatara Kertaning Jagat.
Dengan demikian, Pura Gede Pulaki pada dasarnya juga merupakan tempat penghormatan terhadap jasa-jasa Dang Hyang Nirartha dan istri atau permaisurinya, yaitu: Danghyang Biyang Sri Patni Keniten. Dikisahkan secara ringkas bahwa karena dalam keadaan hamil, Ida Sri Patni Keniten terpaksa ditinggal oleh oleh Dang Hyang Nirartha di Desa Gading Wani bersama putri dan pengikutnya untuk perjalanan ke timur, ke istana Dalem Watu Renggong di Klungkung.
Jadilah Peranda istri ditemani sebagian pengikutnya, melepaskan lelah sampai sehat benar, membangun huma, berladang dan bersawah, sambil mengajar ilmu-ilmu kehidupan dan menjadi suri tauladan masyarakat di daerah itu. Lama kelamaan warganya pun makin banyak, sampai ribuan orang semua setia kepadanya. Karena kesaktian dan kearifannya, warga menggagapnya sebagai Mpu Biyang, ibu seluruh masyarakat di daerah itu. Beliau melahirkan seorang putra yang tampan, diberi nama Bagus Bajra, sesuai pesan ayahndanya.
Daerah tempat Peranda Istri dan putrinya Dyah Ayu Swabawa tinggal itu kian ramai dikunjungi saudagar dari tempat lain, jadilah tempat itu marak dengan perniagaan karena masyarakat senang berbelanja di tempat itu. Namun harapan akan kedatangan utusan ayahnya menjemput tak kunjung kesampaian, walau Dyah Ayu hampir tiap hari memanjat pohon yang tinggi berayun-ayun menerawang tempat yang jauh menantikan munculnya utusan itu. Akhirnya orang-orang memberinya sebutan yang hormat dan sayang dengan Dyah Ayu Melanting, sedang ibundanya, tempat orang bermohon nasihat dan pertolongan disebut dengan Empu Alaki, artinya orang arif yang bersuami, walau suaminya sedang bepergian jauh.
Waktu terus berlalu, rupanya terjadi salah paham. Peranda Istri putus asa menantikan pertemuannya kembali dengan tambatan hatinya, suami dan putra-putrinya yang lain, yang sangat dicintainya. Tak juga ada kabar berita. Beliau sangat menyesalkan perpisahan yang telah lalu, sehingga pada puncaknya, beliau menangis di sanggar pemujaan sambil mohon kepada Dewata agar dirinya bersama seluruh warganya diperbolehkan menunggu tanpa termakan usia, walau Dewata memberi persyaratan yang berat. Peranda Istri Mpu Alaki dan seluruh warganya dibebaskan dari perjalanan sang kala, luput dari penuaan dan kematian karena tua, namun tidak akan dapat dilihat orang lain. Dewata menjelaskan, persyaratan itu untuk menjaga agar umat yang lain tidak iri hati melihatnya abadi.
Kilat menyambar dan guruh menggelegar di saat itu walau tidak ada hujan dan tidak ada badai. Warga Mpu Alaki lenyap dari pandangan, demi menjaga kesetiaan dan kasih sayang. Demi penantian yang panjang dan dibayar dengan keabadian.
Ida Peranda Sakti Wawu Rauh yang mengira istri dan putrinya telah moksah baru menyadari hal ini setelah beliau juga moksah di Ujung Selatan pulau Bali, di hulu batu yang sepi… Belahan jiwanya, Danghyang Patni Keniten menyusul moksah bersama sang putri yang bijak tanpa cela, Dyah Ayu Swabawa Melanting. Diikuti kemudian oleh adindanya yang termuda, pangeran Bajra sang Ratu Samar. Tempat itu kini terkenal dengan nama Pulaki, Dyah Ayu Melanting berstana di pura Melanting, Pangeran Bajra di pura Kerta Kawat sebagai Pangeran Mentang Yuda yang adil dalam memutuskan perkara. Ketiganya juga dipuja dan dilinggihkan di banyak pura sebagai Ratu Niyang Lingsir yang pemurah, Dewa Ayu Melanting yang bijak, dan Ida Bagus Ratu Samar.